Tuesday, June 23, 2009

Vihara Chan Tian Di

Sempurna
Sramanera kecil itu duduk menangis di lantai yang penuh berserakan kertas bekas.
"Kenapa?" tanya bhiksu tua.
"Tulisanku jelek."
Bhiksu tua itu memungut beberapa lembar kertas yang berserak di lantai. "Bagus tuh tulisannya, kenapa dibuang? Ngapain pula nangis?"
"Saya merasa kurang bagus." Sramanera kecil terus menangis, "Saya adalah seorang perfeksionis, sedikitpun tidak boleh salah."
"Masalahnya, di dunia ini siapa sih yang tidak bisa salah sedikitpun?" Bhiksu tua menepuk bahu sramanera kecil.
"Kenapa kamu segalanya mau sempurna? Kurang puas sedikit saja langsung marah, langsung nangis, ini malah membuat kamu jadi tidak sempurna."

Takut Kotor
Sramanera kecil memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai, lalu pergi mencuci tangan. Ia berkaca, lalu mencuci muka. Kemudian melepas celana dan mencucinya berkali-kali.
"Kamu sedang ngapain? Kamu cuci ini cuci itu, habis sudah waktu setengah hari," bhiksu tua bertanya.
"Saya punya pembawaan takut kotor!" Sramanera kecil melanjutkan ucapannya, "Saya risih meski kotor sedikit saja, apa Shifu tidak tahu? Setiap kali umat meninggalkan ruang kantor vihara, saya selalu mengelap bersih kursi yang didudukinya."
"Itu namanya takut kotor?" Shifu tersenyum-senyum.
"Kamu merasa langit kotor, merasa tanah kotor, merasa orang kotor, meski dari luar tubuhmu tampak bersih, tapi dalam hati justru ada masalah, itu justru tidak bersih jadinya."

Pindapatta
Sramanera kecil akan pergi berpindapatta, ia sengaja memakai jubah yang sudah lama dan sobek.
"Kenapa milih jubah ini?" Shifu bertanya.
"Shifu bukannya bilang tidak perlu mementingkan penampilan luar?" Sramanera muda agak ngotot. "Sebab itu saya mencari jubah yang sudah lama dan sobek, lagi pula kalau begini para umat akan jadi simpati, mereka akan memberi banyak uang."
"Kamu ini pergi pindapatta atau mau mengemis?"
Shifu membelalakkan mata, "Kamu maunya orang-orang melihatmu dengan rasa kasihan baru memberi persembahan? Atau berharap orang-orang melihat prestasimu membantu puluhan juta orang mencapai Pantai Seberang?"

Bertahan Tidak Mati vs Hidup dengan Baik
Hari sangat terik, bunga-bunga di vihara jadi layu karenanya.
"Cepat! Cepat siram air!" Sramanera kecil berteriak, lalu segera pergi mengambil satu tong air.
"Jangan tergesa!" Bhiksu tua berkata, "Sekarang ini matahari lagi terik-teriknya, kalau disiram air, dari panas ke dingin, pasti mati nantinya. Nanti saja siramnya."
Petang hari, bunga itu sudah berubah menjadi bunga kering.
"Tidak pagian siramnya...," sramanera kecil mengomel sendiri, "pasti sudah mati dari tadi, disiram pun sudah tak tertolong."
"Jangan cerewet! Siram!" Instruksi bhiksu tua.
Tak lama setelah disiram, bunga yang sudah merunduk layu itu ternyata tegak kembali, bahkan memancarkan daya hidup yang kuat.
"Oh!" Sramanera kecil berteriak, "Mereka benar-benar hebat, bertahan terus di sana, bertahan tidak mati!"
"Omong kosong!" Bhiksu tua mengoreksi, "Bukan bertahan tidak mati, melainkan hidup dengan baik."
"Apa bedanya?" Sramanera kecil menundukkan kepala.
"Ya tidak sama." Bhiksu tua menepuk pundak sramanera kecil, "Saya tanya kamu, saya sekarang 80 tahun, bertahan tidak mati atau hidup dengan baik?"
Seusai kebaktian malam, bhiksu tua memanggil sramanera kecil, "Bagaimana? Sudah paham?"
"Belum," sramanera kecil masih tetap menundukkan kepala.
Bhiksu tua mengetuk kepala sramanera kecil, "Bodoh! Orang yang setiap harinya takut mati, itu namanya bertahan tidak mati; orang yang setiap harinya menatap ke depan, itu namanya hidup dengan baik."
"Ada usia satu hari, maka laluilah satu hari itu dengan sebaik-baiknya. Mereka yang di waktu hidupnya membakar dupa dan menghormat Buddha setiap hari hanya karena takut mati, berharap setelah mati dapat menjadi Buddha, dapat dipastikan tidak akan menjadi Buddha."
Bhiksu tua tertawa ria, "Orang kalau dalam hidupnya bisa hidup dengan baik, tapi sengaja tidak hidup dengan baik, bagaimana bisa hidup enak setelah meninggal?"

Tak Lebih Hanya Sesuap Nasi
Suatu hari ada seorang pemuda yang mengalami hambatan dalam karir menghadap Shifu. "Shifu, kami mendapat perlakuan tidak adil di perusahaan, benar-benar makan hati, tolong beri petunjuk apa kamu kamu harus ganti pekerjaan?" Dua orang ini bertanya.
Shifu memejamkan mata, lewat sekian waktu cuma mengucapkan lima kata: "Tak lebih hanya sesuap nasi." Lalu mengibaskan tangan memberi tanda kedua pemuda itu boleh meninggalkan Shifu.
Kembali ke perusahaan, salah seorang diantara mereka segera menyerahkan surat pengunduran diri, lalu pulang ke dewa untuk bercocok tanam. Sedang yang satunya lagi tetap bekerja di perusahaan itu.
Waktu berlalu dengan cepat, dalam sekejap sepuluh tahun berlalu.
Pemuda yang pulang ke desa untuk bercocok tanam kini menjadi pakar pertanian yang berhasil menerapkan manajemen modern dan perbaikan kualitas mengembangkan bibit unggul.
Sedang yang bekerja di perusahaan, sekarang kondisinya juga lumayan. Ia bersabar dan tekun belajar hingga akhirnya mendapat kepercayaan dari perusahaan, sekarang sudah menjadi manajer.
Suatu hari kedua orang ini bertemu muka.
"Aneh! Shifu memberi kita petunjuk yang sama, lima kata 'tak lebih hanya sesuap nasi'. Aku mendengarnya langsung mengerti, semua itu hanya sesuap nasi saja! Jadi apa yang kau risaukan? Untuk apa tetap bertahan di perusahaan? Sebab itu aku mengundurkan diri."
Pakar pertanian lalu bertanya pada temannya, "Kamu waktu itu kenapa tidak mendengar nasihat Shifu?"
"Aku mematuhinya!" Manajer itu tersenyum, "Shifu bilang, 'tak lebih hanya sesuap nasi', meski makan hati dan capek, asal aku berpikir 'semua ini hanya demi mendapatkan sesuap nasi', jadi tak peduli boss bilang apa, yang penting aku jangan marah, jangan terlalu banyak menuntut, sudah cukup! Bukankah ini maksud Shifu?"
Dua orang itu kemudian menghadap Shifu. Saat itu Shifu sudah berusia sangat lanjut, sambil memejamkan mata dan berdiam diri sekian waktu, Shifu akhirnya mengucapkan lima kata, "Tak lebih hanya sekilas pikiran." Lalu mengibaskan tangan.....

Vihara Chan Langit Bumi
Akhirnya bhiksu tua meninggal, sramanera kecil sudah beranjak dewasa menjadi pimpinan vihara. Ia selalu berjubah rapi. Menenteng kotak obat pergi ke daerah yang kumuh dan miskin untuk memberikan pengobatan bagi warga yang sakit, lalu kembali ke vihara dengan jubah kotor.
Ia selalu berpindapatta seorang diri, tetapi uang yang diterimanya didanakan kembali kepada orang yang membutuhkan.
Ia jarang berada di vihara, vihara juga tidak diperluas, tetapi umatnya semakin hari semakin banyak. Mereka mengikutinya ke manapun ia pergi, baik mendaki gunung maupun mengarungi lautan, menuju desa terpencil di pegunungan ataupun pantai nelayan.
"Shifu waktu masih hidup mengajari saya apa yang disebut 'sempurna'. Sempurna adalah mengejar kesempurnaan di dunia ini.
Shifu juga memberitahukan saya apa itu takut kotor. Takut kotor adalah membantu orang yang kotor agar menjadi bersih.
Shifu juga memberi wejangan apa itu pindapatta. Pindapatta adalah agar semua orang dapat saling bergandengan tangan, saling membantu sehingga semua makhluk mengikat jalinan jodoh yang baik."
Demikian ucapnya.
"Lalu, apa itu Vihara Chan? Vihara Chan tidak harus berada di gunung atau di hutan, melainkan harus berada di dunia masyarakat awam. Selatan, utara, barat, timur, semuanya adalah tempat saya membabarkan Dharma. Berada di antara langit dan bumi, itulah Vihara Chan saya."

Semua itu tak lebih hanya sesuap nasi, tak lebih hanya sekilas pikiran, aktif dan pasif, berkembang dan terbelenggu, putuskanlah mau hidup dengan baik atau bertahan tidak mati, ini juga akan menentukan sampai di mana tingkatan batin kita dalam hidup ini.

dikutip dari Sinar Dharma Vol. 7 no. 1 / 2552 BE Februari 2009-April 2009

2 comments:

Unknown said...

Amituofo suhu,
Tulisan suhu kayanya ada yang salah deh, di cerita Takut Kotor ( Ia berkaca, lalu "mencuri" muka, mencuri or mencuci? )
Dan ada lagi 2 tp sy lupa dimana. Hehehe
Tapi bagus banget cerita ini
Terima kasih y suhu atas dharmanya

Unknown said...

KEREN SUHU, xie xie ya Suhu.