Friday, June 26, 2009

Dewa Dapur dan Agama Buddha

Dewa ini tidak asing lagi bagi masyarakat Tionghoa. Dewa dapur yang dikenal di kalangan masyarakat Tionghoa bernama Zao Jun.Hari ulang tahunnya yaitu tanggal 24 bulan 12 Imlek, bertepatan dengan hari naiknya Dewa Dewi menurut kepercayaan Tionghoa. Pertama-tama marilah kita lihat dulu pembahasan tentang Zao Jun.

Zao Jun (灶君), Sang Dewa Dapur versi Taois
Pada hari itu umat bersembahyang pada Zao Jun, yang juga dianggap Dewa Penguasa Keluarga, yang mengawasi perilaku manusia. Keluarga di suatu rumah memohon agar beliau melaporkan kebaikan yang telah mereka lakukan pada Tian dan kemudian memberikan mereka berkah.
Pemujaannya tidak dapat lepas dari "api" yang digunakan untuk menghangatkan dan memasak makanan di dapur.
Siapakah Zao Jun? Dalam kitab-kitab Taois, Zao Jun pada awalnya disebut Zao Shen ( 灶神). Dewa Zao Jun ada 3 macam :


1. Yang wanita berwujud sebagai nenek-nenek dengan nama zhonghuo Laomu Yuanjun yang membawahi berbagai dewa dapur.

2. Dalam kitab "Upacara-upacara Negeri Zhou" mencatat bahwa Zhu Rong, cucu Huang Di, selalu menangani masalah yang berkaitan dengan api, maka setelah meninggal diangkat jadi Dewa Dapur.

3. Yang pria berwujud sebagai orang dengan marga Zhang. Di antaranya Zhang Dan, Zhang Sheng, Zhang Wei dan Zhang Dingfu. Kebanyakan orang dengan marga Zhang yang menjadi Dewa Dapur selalu berhubungan dengan Yu huang Da di.

Menurut kitab Huainan Zi dari zaman Dinasti Han, Kaisar Huangdi yang menciptakan Zao Jun Ye. Ada pula yang menceritakan bahwa awal pemujaan Zao Jun berasal dari kalangan Taois, bermula dari pertemuan pendeta Taois Li Shaojun dengan Zao Jun.
Dapur adalah bagian yang penting dalam kehidupan kita dan sekelompok keluarga. Setiap hari kita perlu makan, dan makanan itu berasal dari dapur. Karena makanan yang penting bagi kehidupan manusia dimasak di dapur, maka dapur juga penting bagi manusia.
Semua yang penting bagi kehidupan manusia haruslah dihargai dan dihormati, salah satunya adalah dapur. Kisah Dewa Dapur sebenarnya bertujuan untuk memberikan nasihat pada masyarakat supaya jangan suka melakukan perbuatan buruk. Kisah Dewa Dapur ini terbentuk mengingat dapur adalah pusat kegiatan sehari-hari bagi setiap keluarga pada zaman dahulu, terutama keluarga yang masih termasuk dalam masyarakat agraris [pertanian].

Zao Jun dalam Agama Buddha
Zao Jun bukanlah seorang dewa dalam agama Buddha, melainkan seorang Kinnara.
"Di Tiongkok, para bhiksu Buddhis klaim bahwa dewa Taois Zao Jun, sebenarnya adalah Kinnara, yang pada zaman Dinasti Tang, bereinkarnasi menjadi seorang bhiksu."
(Buddhism: Flammarion Iconographic Guides)
Makhluk Kinnara berada di bawah kekuasaan Raja Dewa Vaisravana, dengan demikian juga di bawah kekuasaan Raja Dewa Sakra (Yu Huang Da di).

Sanbo Kojin, Dewa dapur versi Buddhis
Di Jepang, dikenal Dewa Dapur versi Buddhis yaitu Sanbo Kojin. Sanbo Kojin adalah Dewa perapian dapur dan pelindung tanah. Wujudnya tampak forceful dan baru muncul pada abad ke-15 M. Ia memimpin 98.000 setan dan menaklukkan mereka yang jahat dan kejam.
Kojin adalah Dewa Tempat Memasak/Dapur (kamado-no-kami). Kojin adalah Dewa yang mensucikan ketidaksucian seperti apai yang membakar segala ketidaksucian/kekotoran batin. Maka dari itulah Sanbo Kojin ditempatkan di dekat tungku masak.
Kata-kata "kamado" adalah satu tipe kompor masak dan dapat disingkat dengan nama "kama". Istilah kamadogami dipakai di daerah Tohoku. Di beberapa distrik Prefektur Shizuoka, altar yang paling dekat dengan dapur di rumah-rumah tradisional [minka] itu dipercaya sebagai tempat singgah dewa Sanbo Kojin (Kojinbashira). Pada hari terakhir setiap bulan, sebuah vas beisi dahan cemara (kojinmatsu) ditempatkan pada sebuah altar (kojindana), yang disanggah oleh pilar di dekat tungku masak.
Di beberapa distrik perfektur Saga, dapur yang besar biasa disebut Dapur Kojin (Kojinsan-no-Kamado atau Kojinsan Hettsui).
Dewa Sanbo Kojin memberikan keberuntungan dan melindungi keluarga dari bencana. Ada beberapa macam Dewa Kojin :


1. Sanbo Kojin. Perwujudan ini memiliki satu/tiga/delapan kepala dan empat/enam/delapan lengan. "Sanbo" berarti Triratna (Buddha, Dharma, Sangha), sehingga Sanbo Kojin disebut juga Dewa Pelindung Triratna.

2. Nyorai Kojin, mirip dengan Vajrasattva dan tangannya membentuk Mudra Enam Elemen layaknya Mahavairocana Buddha.

3. Kojima Kojin yang muncul dengan empat lengan dan berpakaian baju kerajaan Jepang (sokutai), memakai topi kerajaan (kanmuri) dan memegang permata dan cakra. Beliau muncul dalam mimpi Bhiksu Shinko pada abad ke-11 M.

Sanbo Kojin dipuja juga di kalangan Shugendao dan dianggap sebagai emanasi dari En No Gyoja.

Para umat di Jepang melakukan puja pada "Dewa Dapur" dengan menggunakan "Sanku" yang terdiri dari nasi, sake dan sebagainya.

Kojin, layaknya Zao Jun, konon melaporkan perbuatan manusia ke Dewa-dewa kota. Di rumah-rumah itu dipuja dengan tablet [fudal], sedangkan di vihara-vihara ia dipuja dengan rupang. Namo Ta Shen Cin Na Lo Wang Pu Sha (Namo Maha Arya Kinararaja Bodhisattva) adalah Bodhisattva yang mengurus soal dapur dan makanan untuk Vihara dan para Bhiksu Sangha Mahayana Buddhis.

Bodhisattva Kinnara

Kinnara, artinya adalah dwa musik atau dikenal dewa penyanyi, adalah salah satu dari delapan jenis dewa naga pelindung agama Buddha. Dewa Kinnara biasanya disebut manusia atau bukan manusia karena bentuk kepalanya memiliki tanduk panjang. Dewa Kinnara ada berbentuk pria atau wanita, yang pria kepalanya berbentuk seperti kepala kuda, sedangkan yang wanita memiliki paras rupawan, agung dan memiliki suara indah. Di dalam Buddhis Tiongkok, Dewa Kinnara pernah menjelma menjadi seorang Bhiksu tua yang mengurusi urusan dapur di Biara Shaolin, jasanya pernah mengusir dan mengalahkan tentara Hung Mau Cin yang membuat keonaran di Biara tersebut. Oleh karena itu, Biara Shaolin menjadikannya sebagai pelindung Dharma dan Vinaya. Juga sering disebut sebagai Cien Cai Pusa atau Bodhisattva yang mengawasi urusan kebutuhan makanan vegetarian. Rupa Cien Cai Pusa ada tiga jenis, dibedakan 1. Melaksanakan Dharma Dharmakaya; 2. Melindungi Dharma Dharmakaya; 3. Kegaiban Dharma Dharmakaya. Kepala Kinnara ada gambar penonjolan kabut hijau dan kakinya berwarna ungu berpijak di atas kabut, tanganya memegang pentungan yang menyala api, keseluruhan penampilannya bagaikan panglima muda perang.

Dewata Lain yang juga Ditempatkan di Dapur

Kita mengetahui bahwa dapur adalah tempat yang sangat penting pada zaman dahulu karena merupakan pusat kegiatan sehari-hari dan di sana tempat dibuatnya makanan yang merupakan sesuatu hal yang sangat vital dalam menyokong kehidupan manusia.

Oleh karena itu tidak heran bahwa di Jepang, rupang Dewata atau Bodhisattva ditempatkan di dapur, misalnya:

1. Mahakala. Ia dianggap sebagai pelindung persediaan makanan sehingga digambarkan menaiki karung beras. Rupangnya ditempatkan di dapur vihara India, Tiongkok dan Jepang. Praktek penghormatan pada Mahakala di dapur vihara-vihara Jepang dimulai oleh Bhiksu Saichou di gunung Hiei pada abad 9M.

2. Skandadeva. Skanda dianggap sebagai pelindung Vihara dan anggota Sangha. Oleh karena itulah beliau ditempatkan di dapur vihara-vihara Zen.

3. Manjushri Bodhisattva, prajna para Buddha, ditempatkan di dapur pada era Heian untuk menyimbolkan bahwa untuk menata dan mengurusi hal-hal rumah tangga haruslah dengan kebijaksanaan dan kedisiplinan.

4. Mikuriya Myojin [Aiman dan Aigo] dan Ajimi Jiso [salah satu perwujudan Ksitigarbha] adalah para 'Dewa Dapur' di tradisi Shingon di Gunung Koya. Dulu, Aiman dan Aigo tiap harinya membawakan makanan pada Bhiksu Kukai. Mikuriya Myojin adalah salah satu perwujudan Acalanatha Vidyaraja. Kata-kata "Kuriya" di Jepang dipakai untuk mendeskripsikan lantai kapur.

Konon Sanbo Kojin adalah emanasi Manjushri Bodhisattva dan Acalanatha Vidyaraja.

Namun para Bodhisattva dan Dewa di atas BUKANLAH Dewa Penjaga Dapur [perkecualian mungkin bagi Sanbo Kojin]. Majushri, Skandadeva, Mahakala dan Ksitigarbha bukanlah Dewa Penjaga Dapur.

Mereka ditempatkan di dapur karena dapur merupakan sumber dan pusat dari kebutuhan manusia sehari-hari atau kegiatan dalam suatu rumah. Diharapkan bahwa kebijaksanaan dan berkah para dewa dan Bodhisattva memberkahi keluarga dalam suatu rumah atau para Bhiksu dalam suatu vihara. jadi penempatan di dapur itu hanya merupakan suatu tindakan simbolik saja.

Karena dapur dianggap merupakan tempat yang penting, maka tidak heran kalau rupang Bodhisattva dan Dewa ditempatkan di sebuah tempat yang dianggap penting, bukan ?

Satu-satunya Dewa dalam agama Buddha yang mungkin dapat disebut sebagai Dewa Dapur yang sesungguhnya hanyalah Sanbo Kojin atau Bodhisattva Kinnara (Ta Shen Cin Na Lo Wang Pusa).

Sumber: Harmoni no. 14/02/V/HAR/09

Tuesday, June 23, 2009

Vihara Chan Tian Di

Sempurna
Sramanera kecil itu duduk menangis di lantai yang penuh berserakan kertas bekas.
"Kenapa?" tanya bhiksu tua.
"Tulisanku jelek."
Bhiksu tua itu memungut beberapa lembar kertas yang berserak di lantai. "Bagus tuh tulisannya, kenapa dibuang? Ngapain pula nangis?"
"Saya merasa kurang bagus." Sramanera kecil terus menangis, "Saya adalah seorang perfeksionis, sedikitpun tidak boleh salah."
"Masalahnya, di dunia ini siapa sih yang tidak bisa salah sedikitpun?" Bhiksu tua menepuk bahu sramanera kecil.
"Kenapa kamu segalanya mau sempurna? Kurang puas sedikit saja langsung marah, langsung nangis, ini malah membuat kamu jadi tidak sempurna."

Takut Kotor
Sramanera kecil memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai, lalu pergi mencuci tangan. Ia berkaca, lalu mencuci muka. Kemudian melepas celana dan mencucinya berkali-kali.
"Kamu sedang ngapain? Kamu cuci ini cuci itu, habis sudah waktu setengah hari," bhiksu tua bertanya.
"Saya punya pembawaan takut kotor!" Sramanera kecil melanjutkan ucapannya, "Saya risih meski kotor sedikit saja, apa Shifu tidak tahu? Setiap kali umat meninggalkan ruang kantor vihara, saya selalu mengelap bersih kursi yang didudukinya."
"Itu namanya takut kotor?" Shifu tersenyum-senyum.
"Kamu merasa langit kotor, merasa tanah kotor, merasa orang kotor, meski dari luar tubuhmu tampak bersih, tapi dalam hati justru ada masalah, itu justru tidak bersih jadinya."

Pindapatta
Sramanera kecil akan pergi berpindapatta, ia sengaja memakai jubah yang sudah lama dan sobek.
"Kenapa milih jubah ini?" Shifu bertanya.
"Shifu bukannya bilang tidak perlu mementingkan penampilan luar?" Sramanera muda agak ngotot. "Sebab itu saya mencari jubah yang sudah lama dan sobek, lagi pula kalau begini para umat akan jadi simpati, mereka akan memberi banyak uang."
"Kamu ini pergi pindapatta atau mau mengemis?"
Shifu membelalakkan mata, "Kamu maunya orang-orang melihatmu dengan rasa kasihan baru memberi persembahan? Atau berharap orang-orang melihat prestasimu membantu puluhan juta orang mencapai Pantai Seberang?"

Bertahan Tidak Mati vs Hidup dengan Baik
Hari sangat terik, bunga-bunga di vihara jadi layu karenanya.
"Cepat! Cepat siram air!" Sramanera kecil berteriak, lalu segera pergi mengambil satu tong air.
"Jangan tergesa!" Bhiksu tua berkata, "Sekarang ini matahari lagi terik-teriknya, kalau disiram air, dari panas ke dingin, pasti mati nantinya. Nanti saja siramnya."
Petang hari, bunga itu sudah berubah menjadi bunga kering.
"Tidak pagian siramnya...," sramanera kecil mengomel sendiri, "pasti sudah mati dari tadi, disiram pun sudah tak tertolong."
"Jangan cerewet! Siram!" Instruksi bhiksu tua.
Tak lama setelah disiram, bunga yang sudah merunduk layu itu ternyata tegak kembali, bahkan memancarkan daya hidup yang kuat.
"Oh!" Sramanera kecil berteriak, "Mereka benar-benar hebat, bertahan terus di sana, bertahan tidak mati!"
"Omong kosong!" Bhiksu tua mengoreksi, "Bukan bertahan tidak mati, melainkan hidup dengan baik."
"Apa bedanya?" Sramanera kecil menundukkan kepala.
"Ya tidak sama." Bhiksu tua menepuk pundak sramanera kecil, "Saya tanya kamu, saya sekarang 80 tahun, bertahan tidak mati atau hidup dengan baik?"
Seusai kebaktian malam, bhiksu tua memanggil sramanera kecil, "Bagaimana? Sudah paham?"
"Belum," sramanera kecil masih tetap menundukkan kepala.
Bhiksu tua mengetuk kepala sramanera kecil, "Bodoh! Orang yang setiap harinya takut mati, itu namanya bertahan tidak mati; orang yang setiap harinya menatap ke depan, itu namanya hidup dengan baik."
"Ada usia satu hari, maka laluilah satu hari itu dengan sebaik-baiknya. Mereka yang di waktu hidupnya membakar dupa dan menghormat Buddha setiap hari hanya karena takut mati, berharap setelah mati dapat menjadi Buddha, dapat dipastikan tidak akan menjadi Buddha."
Bhiksu tua tertawa ria, "Orang kalau dalam hidupnya bisa hidup dengan baik, tapi sengaja tidak hidup dengan baik, bagaimana bisa hidup enak setelah meninggal?"

Tak Lebih Hanya Sesuap Nasi
Suatu hari ada seorang pemuda yang mengalami hambatan dalam karir menghadap Shifu. "Shifu, kami mendapat perlakuan tidak adil di perusahaan, benar-benar makan hati, tolong beri petunjuk apa kamu kamu harus ganti pekerjaan?" Dua orang ini bertanya.
Shifu memejamkan mata, lewat sekian waktu cuma mengucapkan lima kata: "Tak lebih hanya sesuap nasi." Lalu mengibaskan tangan memberi tanda kedua pemuda itu boleh meninggalkan Shifu.
Kembali ke perusahaan, salah seorang diantara mereka segera menyerahkan surat pengunduran diri, lalu pulang ke dewa untuk bercocok tanam. Sedang yang satunya lagi tetap bekerja di perusahaan itu.
Waktu berlalu dengan cepat, dalam sekejap sepuluh tahun berlalu.
Pemuda yang pulang ke desa untuk bercocok tanam kini menjadi pakar pertanian yang berhasil menerapkan manajemen modern dan perbaikan kualitas mengembangkan bibit unggul.
Sedang yang bekerja di perusahaan, sekarang kondisinya juga lumayan. Ia bersabar dan tekun belajar hingga akhirnya mendapat kepercayaan dari perusahaan, sekarang sudah menjadi manajer.
Suatu hari kedua orang ini bertemu muka.
"Aneh! Shifu memberi kita petunjuk yang sama, lima kata 'tak lebih hanya sesuap nasi'. Aku mendengarnya langsung mengerti, semua itu hanya sesuap nasi saja! Jadi apa yang kau risaukan? Untuk apa tetap bertahan di perusahaan? Sebab itu aku mengundurkan diri."
Pakar pertanian lalu bertanya pada temannya, "Kamu waktu itu kenapa tidak mendengar nasihat Shifu?"
"Aku mematuhinya!" Manajer itu tersenyum, "Shifu bilang, 'tak lebih hanya sesuap nasi', meski makan hati dan capek, asal aku berpikir 'semua ini hanya demi mendapatkan sesuap nasi', jadi tak peduli boss bilang apa, yang penting aku jangan marah, jangan terlalu banyak menuntut, sudah cukup! Bukankah ini maksud Shifu?"
Dua orang itu kemudian menghadap Shifu. Saat itu Shifu sudah berusia sangat lanjut, sambil memejamkan mata dan berdiam diri sekian waktu, Shifu akhirnya mengucapkan lima kata, "Tak lebih hanya sekilas pikiran." Lalu mengibaskan tangan.....

Vihara Chan Langit Bumi
Akhirnya bhiksu tua meninggal, sramanera kecil sudah beranjak dewasa menjadi pimpinan vihara. Ia selalu berjubah rapi. Menenteng kotak obat pergi ke daerah yang kumuh dan miskin untuk memberikan pengobatan bagi warga yang sakit, lalu kembali ke vihara dengan jubah kotor.
Ia selalu berpindapatta seorang diri, tetapi uang yang diterimanya didanakan kembali kepada orang yang membutuhkan.
Ia jarang berada di vihara, vihara juga tidak diperluas, tetapi umatnya semakin hari semakin banyak. Mereka mengikutinya ke manapun ia pergi, baik mendaki gunung maupun mengarungi lautan, menuju desa terpencil di pegunungan ataupun pantai nelayan.
"Shifu waktu masih hidup mengajari saya apa yang disebut 'sempurna'. Sempurna adalah mengejar kesempurnaan di dunia ini.
Shifu juga memberitahukan saya apa itu takut kotor. Takut kotor adalah membantu orang yang kotor agar menjadi bersih.
Shifu juga memberi wejangan apa itu pindapatta. Pindapatta adalah agar semua orang dapat saling bergandengan tangan, saling membantu sehingga semua makhluk mengikat jalinan jodoh yang baik."
Demikian ucapnya.
"Lalu, apa itu Vihara Chan? Vihara Chan tidak harus berada di gunung atau di hutan, melainkan harus berada di dunia masyarakat awam. Selatan, utara, barat, timur, semuanya adalah tempat saya membabarkan Dharma. Berada di antara langit dan bumi, itulah Vihara Chan saya."

Semua itu tak lebih hanya sesuap nasi, tak lebih hanya sekilas pikiran, aktif dan pasif, berkembang dan terbelenggu, putuskanlah mau hidup dengan baik atau bertahan tidak mati, ini juga akan menentukan sampai di mana tingkatan batin kita dalam hidup ini.

dikutip dari Sinar Dharma Vol. 7 no. 1 / 2552 BE Februari 2009-April 2009

Sunday, June 21, 2009

AJARAN TERTINGGI

Suatu ketika Atisha ditanya oleh muridnya [Ku, Ngog dan Brom], "Apakah ajaran yang tertinggi itu ?"
Atisha menjawab,
"Kepandaian tertinggi adalah membuang keakuan,
Kemuliaan tertinggi adalah menguasai pikiran sendiri,
Kebajikan tertinggi adalah memiliki keinginan untuk menolong makhluk lain,
Sila tertinggi adalah menjaga kewaspadaan terus-menerus,
Obat tertinggi adalah menyadari ketidaknyataan segala sesuatu,
Kebebasan tertinggi adalah tak terpengaruh oleh hal-hal duniawi,
Pencapaian tertinggi adalah mengurangi dan mengubah setiap keinginan,
Pemberian tertinggi terdapat dalam tanpa kemelekatan,
Latihan batin tertinggi adalah pikiran yang tenang,
Kesabaran tertinggi adalah kerendahan hati,
Usaha tertinggi adalah melepaskan keterikatan pada setiap kegiatan,
Meditasi tertinggi adalah pikiran tanpa keinginan,
Kebijaksanaan tertinggi adalah tidak melekat pada apapun yang muncul."

Bodhisattva Maitreya










Tidak Ada yang Dapat Mengungguli
Ketika mencapai Pencerahan Sempuran, Buddha Sakyamuni mengatakan "Sungguh menakjubkan, setiap makhluk hidup memiliki hakikat Buddha, hanya karena tertutup oleh delusi dan kemelekatan sehingga tidak menyadarinya."
Meskipun Buddha disebutkan sebagai manusia teragung, yang memahami segenap penjuru alam, guru para dewa dan manusia, namun kedudukan Buddha bukanlah monopoli satu orang, bukan pula penguasa atas kaum manusia. Menjadi Buddha adalah perjuangan dan tujuan tertinggi setiap individu. Sedangkan memberi persembahan kepada Buddha dapat berarti memberi persembahan yang apresiasif bahwa setiap diri kita memiliki potensi yang setara dengan kemuliaan Buddha. Oleh karena itu, sebelum muncul Buddha Sakyamuni, dunia ini telah pernah muncul Buddha-Buddha lain tak terhitung banyaknya di masa lalu yang tak terhingga. Setelah kemangkatan Buddha Sakyamuni pun, paa masa yang akan datang akan muncul lagi Buddha lain di dunia ini. Lalu siapakah bakal Buddha berikut setelah era Buddha Sakyamuni, inilah yang akan diperkenalkan di dalam profil berikut. Dialah Yang Ariya Bodhisattva Maitreya.
Nama Maitreya mengandung arti cinta kasih. Konon nama beliau disebut Ajita yang artinya 'tidak ada yang dapat mengungguli', sedangkan Maitreya adalah nama marga. Bagaimana kisah munculnya nama ini dan asal-usul Maitreya membangkitkan ikrar bodhicitta?
Kejadiannya bermula ketika Buddha Sakyamuni sedang berkunjung ke sebuah kerajaan. Saat itu Maitreya juga berada di sana sebagai seorang putra brahmana yang mendatangi Buddha untuk memberi penghormatan. Sekelompok brahmacari (pertapa) melihat sosok Maitreya memiliki 32 tanda fisik unggul dengan tubuh memancarkan cahaya gemilang. Merasa sangat aneh dan takjub melihat hal ini, mereka lalu bertanya kepada Buddha, di hadapan Buddha manalah Maitreya pernah membangkitkan bodhicitta untuk pertama kalinya hingga memiliki tubuh cahaya yang sedemikian cemerlang yang hampir tidak berbeda dengan tubuh Bhagava? Pada kesempatan itulah Buddha menceritakan sebuah kisah kilas balik pada masa kalpa tak terhingga yang telah lampau. Saat itu terdapat seorang Buddha bernama Buddha Maitreya. Seorang brahmana bernama Sarvanyanaprabhasa mengajak Buddha Maitreya beradu debat. Karena tidak mampu mengungguli Buddha Maitreya, Brahmana akhirnya menyerah kalah dan memohon menjadi siswa Buddha Maitreya. Pada kesempatan itulah Brahmana Sarvanyanaprabhasa membangkitkan Abhinihara, yakni tekad mencapai Penerangan Sempurna yang sama seperti Buddha Maitreya, juga berharap memiliki nama yang sama pula yakni Maitreya. Siapakah Brahmana Sarvanyanaprabhasa? Tidak lain adalah Bodhisattva Ajita Maitreya.

Pengukuhan Menjadi Samyaksambuddha
Ada beberapa Sutra yang menceritakan mengenai pengukuhan Buddha tentang Bodhisattva Maitreya menjadi bakal Buddha berikutnya. Salah satu kisah yang ditafsirkan sebagai awal pengenalan ini terdapat pada kitab Madhyamagama -- bagian Shuo Ben Jing.
Hal ini dikisahkan ketika Buddha mengunjungi wilayah Benares di Taman Rusa Isipatana. Saat itu, Y.A. Aniruddha bersama para bhiksu lainnya sedang berbincang Dharma. Karena itu, Buddha menghampiri para bhiksu dan bertanya, "Oh para bhiksu, apa yang sedang kalian perbincangkan di aula pertemuan ini ?" Para bhiksu menjawab, "Bhagava, kami sedang berbincang Dharma bersama Y.A. Aniruddha mengenai hal-hal di masa lalu, karena itulah kami berkumpul di aula pertemuan ini." Buddha lalu berkata, "Apakah kalian ingin mendengar wejangan Dharma yang menyangkut hal-hal masa yang akan datang ?" Para bhiksu dengan gembira menyahut, "Bhagava, inilah saat yang tepat, Oh Sugata, inilah saat yang tepat." Buddha lalu berkata, "Oh para bhiksu, dengarkan dan renungkan baik-baik, aku akan menjabarkannya. Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, usia kehidupan manusia akan mencapai 80.000 tahun. Saat itu, wilayah Jambudwipa ini sangat makmur. Rakyatnya hidup harmonis, begitu juga dengan kota-kota dan desanya saling berdekatan hingga seekor ayampun sanggup terbang ke kota tetangganya. Wanita di kehidupan saat itu menikah ketika berusia 500 tahun. Jenis penyakit yang muncul pun hanya sebatas sakit panas, dingin, buang air besar dan kecil, nafsu keinginan, makan dan minum, usia tua. Pada saat itu juga, hidup seorang raja Cakravartin (penguasa dunia) bernama Luo. Raja Cakravartin memerintah dengan bijaksana. Kondisi dunia pada saat itu penuh dengan kedamaian."
"Oh para bhiksu, jauh di masa yang akan datang, ketika usia kehidupan manusia mencapai 80.000 tahun, akan muncul seorang Buddha dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia.
Setelah Buddha mengucapkan pengukuhan ini, salah seorang bhiksu bangkit dari tempat duduknya. Beliaulah Bodhisattva Maitreya yang dikukuhkan oleh Buddha. Bhiksu Maitreya bersujud dan beranjali di hadapan Buddha sambil berkata bahwa beliau akan mencapai tingkat Samyaksambuddha pada masa mendatang. Buddha kemudian mengukuhkan pernyataan Bhiksu Maitreya, "Bagus, bagus, Oh Maitreya. Engkau membangkitkan batin yang sangat menakjubkan dengan berkata akan membimbing para makhluk hidup. Seperti yang telah engkau pikirkan dan ucapkan di hadapanKu." Kemudian sekali lagi Buddha menyatakan kembali kepada Maitreya, "Oh Maitreya, ketika usia kehidupan manusia 80.000 tahun, Engkau akan mencapai kebuddhaan, dengan nama Buddha Maitreya, Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia. Dikelilingi oleh para makhluk, sama seperti Aku sekarang sebagai Tathagata, Arhat, Samyaksambuddha, Sugata, yang memahami segenap alam, guru para dewa dan manusia, penjinak nafsu, Bhagava yang maha mulia, dikelilingi oleh para makhluk."
Buddha kemudian meminta Ananda mengambilkan jubah emasNya [1] untuk diberikan kepada Bhiksu Maitreya dan meminta Maitreya mendanakan jubah tersebut kepada Triratna secara simbolis. Demikian ramalan ini diberikan kepada bhiksu Maitreya.
Pengukuhan tentang sosok Maitreya tampak cukup menarik perhatian para siswa Buddha. Ketika di Taman Anathapindika, Y.A. Ananda juga menanyakannya, begitu juga Y.A. Sariputra memohon kepada Buddha saat berada di puncak Gunung Grdhakuta.
Pada kesempatan lain Y.A. Upali juga menanyakan seputar Maitreya ketika berada di Taman Anathapindika. Bodhisattva Maitreya juga hadir di pesamuan ini. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya gemilang yang memunculkan visual para Buddha, yang mana visual para Buddha ini kemudian menguncarkan berbagai dharani agung. Setelah Bodhisattva Maitreya mendengar dharani ini, seketika juga menguasai metode ini. Akan tetapi, karena Y.A. Upali tidak memahami tingkat batin Maitreya, maka beliau pun bertanya kepada Buddha, "Oh Lokanatha, Lokanatha pernah berkotbah tentang Ajita (Maitreya) akan menjadi Buddha pada masa yang akan datang. Seperti diketahui bahwa Ajita masih beridentitas sebagai manusia biasa yang masih belum mengikis tuntas noda-noda batin, lantas di alam manakah dia akan dilahirkan setelah kehidupan ini ? Meskipun telah menjalani kehidupan monastik, dia tidak juga mempraktikkan samadhi dan tidak mengikis noda batin, namun Bhagava secara pasti mengukuhkannya akan mencapai kebuddhaan. Setelah akhir kehidupannya, ke manakah dia akan dilahirkan ?"
Buddha lalu berkata kepada Upali, "Dengarkan dan renungkanlah baik-baik, sekarang di hadapan pesamuan ini, Tathagata, Yang memiliki pengetahuan Sempurna, akan mewejangkan Pengukuhan tentang Bodhisattva Maitreya Mencapai Anuttara Samyaksambuddha. Terhitung dua belas tahun dari sekarang, usia kehidupannya akan berakhir dan dipastikan terlahir di Surga Tusita."
Pada kesempatan itu pula Buddha mewejangkan praktik yang selalu dijalani bagi mereka yang hendak terlahir di Surga Tusita mengikuti Bodhisattva. "Bagi bhiksu atau semua orang yang tidak merasa jijik terhadap kehidupan samsara, sementara sangat sedang dapat terlahir di alam surga, dan merasa senang dengan pikiran Pencerahan Sempurna, ataupun berkehendak menjadi siswa Maitreya, maka lakukanlah jenik praktik Vipasyana, yang mana praktik ini hendaknya dijalani dengan menaati Lima Sila, Delapan Sila maupun Sila Penuh. Dengan batin dan jasmani yang bersih lalu tanpat mencari Jalan Pemutusan [2], mempraktikkan Sepuluh Perbuatan Baik, lalu secara seksama merenungkan kebahagiaan menakjubkan dari alam Surga Tusita. (Dengan motivasi ini) maka mempraktikkan vipasyana seperti ini disebut vipasyana yang benar, selain dari praktik ini maka disebut vipasyana tidak benar [3]."
Mendengar tentang kegemilangan surga Tusita dan kejadian-kejadian luar biasa dari Bodhisattva Maitreya membuat Y.A. Upali merasa semakin tertarik hingga beliau menanyakan lebih detil lagi tentang kapan waktunya Bodhisattva akan dilahirkan di Tusita. "Oh Bhagava, Surga Tusita ternyata memiliki peristiwa sukacita yang demikian menakjubkan, jadi kapan tepatnya Mahasattva meninggalkan Jambudvipa ini untuk terlahir di Surga tersebut ?" "Oh, Upali, Maitreya adalah anak dari seorang brahmana bernama Pravari yang dilahirkan di desa Kapali, wilayah Benares. Dua belas tahun kemudian di bulan kedua tanggal 15, beliau akan kembali ke tempat kelahirannya. Di tempat itulah beliau akan duduk bersila bagaikan orang yang memasuki samadhi, lalu tubuhnya memancarkan cahaya emas keunguan yang sangat cemerlang dan seketika itu juga terlahir di Surga Tusita. Peninggalan relik tubuh jasmaninya seperti rupang emas yang kokoh tanpa goyah sedikitpun, dan di tengah lingkaran cahaya jasmaninya terdapat aksara bertuliskan 'Shurangama Samadhi Prajna Paramita yang bersinar cemerlang.'

Kapankah Bodhisattva Maitreya Menjadi Samyaksambuddha ?
Setelah terlahir di Surga Tusita, Bodhisattva Maitreya memiliki 32 tanda fisik unggul dan 80 ciri indah yang hampir tidak berbeda dengan seorang Buddha. Beliau duduk di atas singgasana teratai dan setiap saat memutar roda Dharma kepada para dewa lainnya agar berjalan di jalur cita-cita Anuttara Samyaksambodhi. Demikian terus hingga usia kehidupan mencapai 4.000 tahun Surga Tusita atau 56 koti laksa tahun manusia, Maitreya baru meninggalkan Tusita dan terlahir kembali ke alam manusia untuk mencapai Pencerahan Sempurna.
Beberapa golongan ekstrem menyatakan bahwa Maitreya telah hadir di antara kita, atau Maitreya akan hadir dalam waktu dekat. Bahkan beberapa ratus tahun terakhir ini banyak orang yang mengaku sebagai titisan Maitreya. Pandangan dan interpretasi ini tentu sangat tidak bersesuaian dengan agama Buddha. Buddha yang akan datang baru akan mengajarkan Dharma apabila ajaran Buddha sebelumnya telah punah. Baik Sutta Theravada ataupun Sutra Mahayana menyebutkan Bodhisattva Maitreya akan menjadi Samyaksambuddha setelah usia rata-rata manusia mencapai 80.000 atau 84.000 tahun.
5.000 tahun setelah Buddha parinirvana adalah masa-masa di mana dunia semakin kacau dan kejahatan semakin merajalela, hingga umur rata-rata manusia hanya mencapai 10 tahun. Dalam paham Mahayana, emanasi Bodhisattva Maitreya akan muncul pada zaman terpuruk tersebut untuk mengajarkan dasar-dasar kebajikan dan moralitas sehingga umur rata-rata manusia dari 10 tahun kembali bertambah mencapai 84.000 tahun atau tepatnya sampai pada masa 560.000.000 tahun setelah Buddha Sakyamini Parinirvana, Maitreya akan turun ke dunia manusia menjadi Samyaksambuddha.
Dalam Buddhavaca Maitreya Upapadyante Tusita Dhyana Sutra [Sutra Buddha membabarkan Bodhisattva Maitreya terlahir di Alam Tusita] ada dikatakan: "Setelah usia Maitreya genap 560.000.000 tahun menurut penanggalan Jambudvipa (bumi), beliau akan meninggalkan istana Surga Tusita lagi, kemudian ditumimbal lahirkan di Dunia Sahaloka."
Lalu berdasarkan ucapan Buddha di dalam Sutra Buddhavaca Maitreya Bodhisattva Sutra, Bodhisattva Maitreya kelak akan terlahir di alam manusia setelah 567.000.000 tahun bumi, mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Long Hoa (Nagapuspa) di Taman Puspavana di luar kota Ketumat, sesuai dengan umur makhluk yang terlahir di Surga Tusita (jangka waktu kehidupan di Surga Tusita adalah 567.000.000 tahun manusia).
Yogi Shabkar juga berkata, "Di masa depan yang merupakan masa wabah penyakit, peperangan dan kelaparan, ketika usia rata-rata manusia telah berkurang hanya 10 tahun saja, Seorang yang Berjubah Saffron, seorang emanasi dari Maitreya, akan muncul. Kagum, semua orang akan bertanya-tanya, "Apakah Buddha Maitreya telah hadir ?" dan bertanya, "Kenapa engkau memakai jubah Dharma yang sangat indah warnanya ? Kenapa engkau sangat tampan ?" "Setelah melalui praktik kesabaran", jawab sang emanasi dan ia menambahkan, "Janganlah melakukan perselisihan, praktekkanlah kesabaran." Ketika orang-orang melakukan tindakan ini, jangka hidup mereka akan bertambah, pertama dari 10 tahun menjadi 20 tahun, kemudian bertahap sampai akhirnya mencapai 80.000 tahun. Kemudian [pada saat itu] Buddha Maitreya akan hadir dan memutar roda Dharma."
Sutra-sutra Mahayana tidak mengatakan bahwa Bodhisattva Maitreya akan mencapai Samyaksambuddha setelah 2.500 tahun [500 tahun kelima], namun sutra-sutra tersebut sebenarnya menyebutkan bahwa akan ada emanasi bodhisattva Maitreya yang muncul di bumi ketika masa 2.500 tahun. Ketika masa 5.000 tahun setelah Buddha parinirvana, jadi bukan sebagai Samyaksambuddha. Maka belumlah pantas bila saat ini menyebut Maitreya sebagai seorang Buddha Sempurna.
Persamuan Asanga dan Bodhisattva Maitreya
Ajaran Bodhisattva Maitreya yang sesungguhnya dalam agama Buddha dapat ditemukan dalam ajaran Yogacara/Vijnanavada, yang sesungguhnya tidak berbeda dengan ajaran Buddha Sakyamuni. Maitreya mewejangkan kembali sabda Buddha Sakyamuni tentang ajaran "Hanya Kesadaran" yang merupakan Pemutaran Roda Dharma [Dharmacakra] yang ketiga.
Asanga, umat Buddha yang sangat berdedikasi, berlatih meditasi visualisasi Maitreya selama 12 tahun di sebuah goa, tetapi karena tak memperoleh hasil apa-apa, ia pergi meninggalkan goa tempatnya bermeditasi. Dalam perjalanan, Asanga melihat seekor anjing tua yang sedang sekarat dengan bagian bawah tubuh terluka dikerumuni banyak belatung. Rasa welas asih yang sangat besar muncul dalam diri Asanga. Ia berpikir, "Anjing ini akan mati bila belatung tidak dikeluarkan, namun belatung-belatung akan mati bila dikeluarkan begitu saja. Karenanya aku akan memotong daging dari tubuhku untuk makanan belatung, maka selamatlah baik anjing maupun belatungnya."
Apabila ia memindahkan dengan jarinya, maka belatung-belatung akan mati terbunuh. Dengan sebilah pedang, ia memotong dagingnya sendiri, dengan lidahnya, namun tidak dapat mencapainya. Saat membuka mata, Arya Maitreya nampak berdiri di hadapannya dengan Mahapurusha-lakshana yang agung. Takjub, Asanga berkata sambil bercucuran air mata: "Oh Ayahku ! Pelindungku ! Selama bertahun-tahun aku melakukan beratus-ratus usaha namun tidak membawa hasil. Ketika aku haus dan didera penderitaan, mengapa engkau tidak menurunkan hujan amrita dari samudra awan kemuliaanmu ? Mengapa engkau hanya menunjukkan belas kasih yang kecil kepada kami ?"
Arya Maitreya menjawab, "Sebagaimana ungkapan, meskipun raja dari para dewa menurunkan hujan, biji yang mati tak akan bertunas. Demikian pula meskipun para Buddha muncul, ia tak terlihat oleh mereka yang kurang kebajikannya. Aku telah berada bersamamu sejak awal, Aku tidak pernah terpisah denganmu, tapi karena terhalang oleh karmamu, engkau tak dapat melihatKu. Sebaliknya, setelah noda dan rintanganmu dimurnikan oleh pelatihan mantramu yang banyak dan oleh welas asihmu sehingga berani memotong dagingmu sendiri, kini dirimu dapat melihatKu." Arya Maitreya kemudian berkata, "Tetapi untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini bagimu, gendonglah dan bawa Aku ke kota !"
Asanga membawa Bodhisattva ke kota, namun tidak ada satu orang pun yang melihat Arya Maitreya, kecuali seorang wanita tua melihat Asanga menggendong bangkai anjing [4]. Karena penglihatannya itu, ia mendapatkan keberuntungan yang tiada akhir. Seorang tukang tembikar melihat kaki Arya Maitreya, segera ia berada dalam keadaan samadhi dan mencapai banyak siddhi. Pada saat itu Asanga juga mencapai samadhi "kesadaran akan keberadaan."
"Apa keinginanmu sekarang ?" tanya Maitreya Bodhsiattva. "Memulihkan ajaran Mahayana," jawab Asanga. "Baiklah pegang ujung jubahku." Arya Asanga mengikuti nasihat tersebut dan pergi ke Surga Tusita, berada di sana selama 50 tahun manusia mendengarkan Dharmadesana dari Arya Maitreya dan sangat paham baik makna maupun kalimat demi kalimat. Ia mendengarkan "Lima Dharma Maitreya" yang dibukukan di Dharmankura Vihara di Veluvana. Kelima teks tersebut adalah Abhisamayalamkara, Mahayanasutralamkara, Dharmadharmatavibhanga, Madhyantavibhanga, dan Uttaratantra Shastra [Ratnagotravibanga].

Emanasi Maitreya di Asia
Dalam tradisi Buddhisme Tiongkok, rupang Bodhisattva Maitreya lebih banyak dikenal orang dalam wujud perawakan gemuk dengan perut buncit yang tertawa riang. Mengapa penggambaran wujud Maitreya demikian unik dan jauh berbeda dari bentuk Bodhisattva Mahasattva umumnya ? Hal ini berkaitan dengan beberapa kisah para bhiksu yang diyakini sebagai emanasi Bodhisattva Maitreya. Entah kebetulan atau tidak, bhiksu-bhiksu itu memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu berperawakan gemuk.
Di antaranya adalah kisah tentang Bhiksu Fu yang hidup pada masa dinasti Liang. Beliau adalah penasihat Kaisar Liang Wudi dan sering memberi bimbingan Dharma kepada kaisar. Menjelang kemangkatannya, Bhiksu Fu berkata, "Saya datang dari Surga tingkat ke-4 (Tusita), bertujuan untuk membimbing kalian. Untuk berikutnya akan menggantikan Sakyamuni." Dari ucapan inilah diyakini beliau adalah emanasi Bodhisattva Maitreya.
Kemudian pada masa Dinasti Lima Kerajaan, di wilayah Mingzhou, kabupaten Fenghua, ada seorang bhiksu yang berperawakan gemuk dengna perut buncit. Setiap hari selalu membawa sebuah kantong kain yang besar di jalanan dan sering tertawa lebar. Orang-orang memanggilnya Bhiksu Budai (Kantong Kain). Beliau berpindapatta kepada siapa saja, dan bila ada yang memberinya arak dan daging, maka akan memasukkannya ke dalam kantong kain. Pada musim dingin, lantai bersalju menjadi alas tidurnya, saat bangun, pakaian tidak menjadi basah. Bila beliau mengenakan sandal dari rumput basah sambil berlari-lari di tengah keramaian, maka semua orang akan tahu bahwa hujan akan tiba. Bila mengenakan sandal berukuran tinggi sambil tidur di atas jembatan, maka pertanda cuaca akan kembali cerah. Ketika menjelang mangkat di Vihara yuelin, beliau berbaring di atas batu sambil berkata, "Maitreya oh Maitreya yang sesungguhnya, jelmaannya raturan ribu wujud. Setiap saat membimbing orang, namun orang-orang tidak mengenalnya."
Sedangkan di Tibet, ada dua guru yang dikenal sebagai emanasi Maitreya yaitu Tai Situpa Rinpoche dan Sangye Nyenpa Rinpoche yang berasal dari silsilah Karma Kagyu. Di Korea, Maitreya beremanasi sebagai seorang remaja pria Hwarang. Di Jepang, ada tempat yang diidentikkan dengan Surga Tusita yaitu Gunung Koya tempat Bhiksu Kukai bermeditasi menunggu kedatangan Arya Maitreya. Sedangkan menurut tradisi Mahayana. Mahakashyapa juga bermeditasi di gunung Kukkutapada [Jizu Shan di Tiongkok] menunggu kedatangan Arya Maitreya. Guru-guru Buddhis seperti Arya Bhavaviveka juga berikrar untuk menjaga tubuh mereka sampai kedatangan Bodhisattva Maitreya. Demikian pula dari Maha Bhiksu Xuanzang di masa dinasti Tang, hingga era kontemporer seperti Master Xuyun, Taixu dan Yinshun adalah tokoh-tokoh yang berikrar terlahir di Surga Tusita mendampingi Bodhisattva Maitreya.
Sebagai seorang calon Buddha yang akan datang, waktu kedatangan Maitreya menjadi topik yang cukup hangat di kalangan umat Buddha. Namun sebenarnya sudah jelas sekali seperti yang dinyatakan Buddha Sakyamuni bahwa jangka waktu kemunculan Maitreya masih lama. Namun beberapa golongan ekstrem menyatakan bahwa Maitreya telah menjadi Buddha, hal ini tentu sudah tidak sesuai dengan esensi yang ingin disampaikan Buddha ketika mengungkapkan pengukuhan Maitreya. Lagi pula selama ajaran Buddha masih eksis, mempraktikkan Dharma yang nyata dan ada di depan mata jauh lebih realistis dan sudah sepatutnya dilakukan alih-alih menyatakan bahwa Buddha berikutnya telah muncul.
Pada dasarnya, diperkenalkannya seorang bakal Buddha memiliki pesan inspiratif, yakni bahwa setiap makhluk hidup, termasuk diri kita, juga adalah bakal Buddha yang akan datang. Itulah mengapa dikatakan bahwa setiap makhluk memiliki hakikat Buddha dalam dirinya. Hakikat inilah yang perlu kita pulihkan kembali, tentu dengan meneladani kualitas-kualitas yang dimiliki oleh para Ariya bijaksana, salah satunya adalah Bodhisattva Maitreya. Semoga dengan diperkenalkannya Bodhisattva Maitreya dapat membekali kita untuk dapat membangkitkan ikrar agung dan belajar mempraktekkan cinta kasih seperti yang nama yang melekat pada nama Bodhisattva Maitreya.
------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Jubah yang terbuat dari benang emas jahitan Mahaprajapati Gotami
[2] Jalan Pemutusan merujuk pada pencapaian Arahat (memutus samsara). Bila seseorang
memilih terlahir di Tusita, maka tidak menempuh jalur Arhat dulu, karena itu dikatakan
"tanpa mencari jalan pemutusan."
[3] Bukan menampikkan metode vipasyana yang lain, jadi maksudnya adalah bila
mempraktikkan metode vipasyana ini maka harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah
diajarkan seperti di atas.
[4] Yang kita tangkap dari cerita ini, anjing yang sekarat itu sebenarnya adalah emanasi
Bodhisattva Maitreya.

Friday, June 19, 2009

SUTRA 8 KESADARAN AGUNG

Sutra of the Bodhisattva’s eight realizations
spoken by the Buddha
(Ba Da Ren Jue Jing)

One and night, Buddha’s disciples should wholeheartedly chant
the Bodhisattva’s eight realizations.
The First Realization :
the world is impermanent, the land is fragile. The four elements are suffering and emptiness, the five aggregates are not “I”. Birth, death, transformation and change are all unreal, illusory phenomena beyond our control. Our hearts are the origin of all evil, and our bodies
are the reservoir of all sin. If we can observe all this, we will gradually become free
from life and death.

The second Realization :
suffering arises from too many desires.
The fatigue of the cycle of life and death comes from greed.
If we have fewer desires, our bodies and minds will be at ease.

The third Realization :
our hearts are insatiable, we try to gain as much as we can, and this only increase evil. Bodhisattvas are never greedy, but are always contented.
Be contented with what you have, and seek only wisdom.

The fourth Realization :
If you are idle, you will be degenerate.
Be always diligent. Break through worries.
Conquer the four devils and be free from the prison of aggregates and realms.

The fifth Realization :
people live and die ignorantly.
Thus, bodhisattvas study widely to increase their wisdom.
They become eloquent and teach all people and brinb them great joy.

The sixth Realization :
when you are poor and complain much, you will create much bad karma with other people. When bodhisattva offer help to other people, they regard all equality, whether relatives or enemies. The bodhisattvas disregard past bad karma and they do not loathe bad people.

The seventh Realization :
the five desires cause suffering.
Although we are common people, we must not be soiled by carnal pleasure.
We should often recall the three garment, bowls and the utensils used in worship, and vow to renounce the lay life. We will abide by the precepts to keep us pure, and our Buddhist actions will be lofty, then we will have compassion for all.

The eighth Realization :
reincarnation is fire and its suffering is endless.
We vow to cultivated the spirit of the bodhisattvas and to save all from their suffering.
I vow to accept endless suffering on behalf of all beings, so they can obtain ultimate happiness.

These eight matters are understood by all buddhas and bodhisattvas. They carry our spiritual cultivation with diligence. They cultivate their wisdom with compassion. They ride on the dharma-ship to the shore of nirvana. Then, they enter the cycle of reincarnation again to save all living creatures.
With these eight understandings, they lead all living beings to understand the suffering of life and death, abandon the five kinds of lust, cultivate their minds and walk on the path of the stages. If my disciples keep these eight things in mind, they will eradicate unlimited evils. They will gain perfect wisdom and quickly attain enlightenment. They will be freed from reincarnation forever and live permanently in happiness.

THE 37th PRACTISES OF A BODHISATTVA

37 PRACTISES OF A BODHISATTVA
Commentary by His Holiness The XIV Dalai Lama

First Practice
The possession of this human base, this precious vessel so difficult to obtain, in order to liberate others and us from the ocean of samsara. To hear, reflect, and meditate day and night without distruction. This is a practice of the Bodhisattva.
Second Practice
Toward our friends and those we love run the waters of attachment, toward our enemies burns the fire of anger. In the obscurity of ignorance, we lose sight of what shoud be abandoned and what should be practiced. Therefore renunciation of one’s country and home is a practice of the Bodhisattva.
Third Practice
When we abandon our harmful surroundings, our illusions diminish, and because we have no distractions our practice of virtue develops spontaneously, leaving us with a clear mind, our trust in the Dharma grows. To live in solitude is a practice of a Bodhisattva.
Forth Practice
One day old and dear friends will separate, goods and riches obtained by great effort will be left behind. Consciousness, a quest of the body, this temporary dwelling, will depart. From this moment on, to renounce all attachment to this life is a practice of the Bodhisattva.
Fifth Practice
If we have harmful companions, the three poisons are increased. Our reflection and meditation becomes degraded; love and compassion are destroyed. To abandon dangerous company is the practice of the Bodhisattva.
Sixth Practice
To rely on a spiritual friend who has eliminated all illusions, whose competence in the teachings and practice is complete, and whose qualities increase like the crescent moon. To cherish this perfect guru more than one’s own body is a practice of the Bodhisattva.
Seventh Practice
How could the gods of this world possibly liberate us, being themselves tied to the prison of samsara ? Instead let us take refuge in that on which we can rely. To take refuge in the Three Jewels is a practice of the Bodhisattva.
Eighth Practice
The intolerable suffering of the lower realms is said by the Buddha to be the fruit of karma. Therefore, to never commit deeds is a practice of the Bodhisattva.
Ninth Practice
The happiness of three worlds is like the dew on the tip of a blade of grass, disappearing is an instant. To aspire to supreme, immutable liberation is a practice of the Bodhisattva.
Tenth Practice
Since beginningless time, our mothers took care of us with tenderness. What use is our happiness when they still suffer ? To generate Bodhicitta in order to liberate beings is a practice of the Bodhisattva.
Eleventh Practice
All suffering, without expection, comes from the desire for happiness, for oneself while perfect Buddhahood is born from the desire to make others happy. This is why completely exchanging one’s happiness for that of other’s suffering is a practice of the Bodhisattva.
Twelfth Practice
If in the grip of violent desire or cruel necessity, an unfortunate person steals our possessions or incites someone else to steal them. To be full of compassion and to dedicate to this person our body, possessions, and past, present, and future merit,
is a practice of the Bodhisattva.
Thirteenth Practice
Even if we are beaten, tortured or our head cut off, we must not allow any anger to arise within us. To have great compassion for those poor beings who out of ignorance us is a practice of the Bodhisattva.
Fourteenth Practice
If, without reason, certain people slander us to the point where the entire world is filled with their malicious gossip. To lovingly praise their virtues is a practice of the Bodhisattva.
Fifteenth Practice
If in the company of several people, one among them reveals a fault that we would have liked hidden. To not become irritated with the one who treats us in the manner but to consider him as a supreme guru is a practice of the Bodhisattva.
Sixteenth Practice
If someone who we have helped and protected as our own child, shows only ingratitude and dislike in return. To have toward this person the tender pity a mother has for her sick child is a practice of the Bodhisattva.
Seventeenth Practice
If someone who is your equal or someone who is obviously your inferior despises you or out of arrogance attempts to debase you. To respect him as your master
is a practice of the Bodhisattva.
Eighteenth Practice
When we are abandoned, overcome which sickness and worry. To not become discourage but to think of taking on all the wrongful actions committed by others and suffering their consequences is a practice of the Bodhisattva.
Nineteenth Practice
When we enjoy reputation, the respect of everyone, and the wealth of vaishravana (guardian king). To see that the fruits of karma are without substance and not to take pride in this observation is a practice of the Bodhisattva.
Twentieth Practice
Unless the aggression of our inner anger ceases, the more we fight them the more multiply. Similarly, until we have mastered our own mind, negative forces will invades us. To discipline the mind through love and compassion is a practice of the Bodhisattva.
Twenty first Practice
The native of sense pleasures is like that of saltwater; the more we drink, the more our thirst increases. To abandon the objects toward which desire arises
is a practice of the Bodhisattva.
Twenty second Practice
All that appears comes from an illusion of the mind and the mind itself is from beginningless time is without inherent existence, free from the two extremes of manifestation (externalism and nihilism) and beyond all elaboration. To understand this nature (Tathata) and not conceive of subjects and objects as really existing is a practice of the Bodhisattva.
Twenty third practice
When we encounter an attractive object or something that pleases our mind, we see it as beautiful and real, but actually it is as empty as a summer rainbow. To abandon attachment toward it is a practice of the Bodhisattva.
Twenty forth Practice
Various sufferings are like the death of an only child in a dream. To take as truth that which is only a false appearance is to uselessly exhaust the body and mind. When we meet with unfavorable circumstances, to approach them thinking they are only illusion
is a practice of the Bodhisattva.
Twenty fifth Practice
If he who desires awakening must sacrifices his own body, his precious human life, what need is there to mention external objects to abandon ? This is why practicing generosity without hoping for reward or a “karmic fruit” is a practice of the Bodhisattva.
Twenty sixth Practice
If, lacking ethical discipline, we cannot realize our own intentions. To what to fulfill the vows of other beings is simply a joke. To keep rules and vows, not for a temporal and samsaric goal, but in order to help all sentient beings is a practice of the Bodhisattva.
Twenty seventh Practice
For Bodhisattva, who desires the rewards of virtuous merit, all adverse circumstances are a precious treasure, for they requisite the practice of Ksanti (patience). To be perfectly patient, without irritation or resentment toward anyone, is a practice of the Bodhisattva.
Twenty eighth Practice
Even the Pratyekabuddhas and the Sravakas who are concerned only with their own liberation make great efforts to obtain virya (energy). To perfectly practice energy, the source of all qualities for the benefil of all beings, is a practice of the Bodhisattva.
Twenty ninth Practice
In understanding that special insight in union with calm abiding (perfection) and are incapable of leading us to buddhahood. To have the right vies which perceives that does, the deed itself, and the one who receive the deed completely lack inherent existence
is a practice of the Bodhisattva.
Thirtieth Practice
Without wisdom, the five preceding virtues cannot be called “paramita” (perfection) and are incapable of leading us to buddhahood. To have the right view which perceives that does, the deed itself and the one who receive the deed completely lack inherent existence
is a practice of the Bodhisattva.
Thirty first Practice.
To not analyze our actions and feelings allows desire to arise. To examine our errors and faults in oder to separate us from them completely is a practice of the Bodhisattva.
Thirty second Practice
To never criticize others or speak of the errors that those who are on the path of the Mahayana may have committed is a practice of the Bodhisattva.
Thirty third Practice
In order to receive offerings and be surrounded by respect, we flight among ourselves in the spirit of competition. To the detriment of our attention toward study; our meditation slackens. To abandon all attachment to the households of friends and patrons is a practice of the Bodhisattva.
Thirty forth Practice
Harsh speech disturb the mind of others and our practice feels the effects of this. To abandon all coarse and vulgar language, all harsh speech, and all idle chatter is a practice of the Bodhisattva.
Thirty fifth Practice
Habitual afflictions are hard to reverse with an antidote. To destroy afflictions such as attachments and others, as soon as they appear, by bearing the antidotal sword of mindfulness and introspection is a practice of the Bodhisattva.
Thirty sixth Practice
In brief, wherever one is and whatever one’s behavior, one should always possess mindfulness and introspection. To examine the condition of one’s mind and to achieve benefit for others is the practice of the Bodhisattva.
Thirty Seventh Practice
To dedicate the merit that results from our efforts to obtain buddhahood, toward illumination through the wisdom of the view of emptiness of the three realms of action and in order to overcome the suffering of infinite being is a practice of the Bodhisattva.

TUJUH MINGGU SETELAH PENERANGAN SEMPURNA

Selama minggu pertama Hyang Buddha duduk bermeditasi di bawah pohon Bodhi dan menikmati keadaan Nibbana, yaitu keadaan yang terbebas sama sekali dari gangguan-gangguan batiniah, sehingga batin-Nya tenang dan penuh kedamaian.

Selama minggu kedua Hyang Buddha berdiri beberapa kaki dari pohon Bodhi dan memandanginya terus menerus dengan mata tidak berkedip sebagai cetusan terima kasih dan penghargaan kepada pohon yang telah memberi-Nya tempat untuk meneduh sewaktu bergulat untuk mencapai tingkat Buddha. Mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Hyang Buddha dahulu, sekarang pun umat Buddha memberi penghormatan kepada pohon Bodhi.

Selama minggu ketiga Hyang Buddha berjalan mondar-mandir di atas jembatan emas yang diciptakan-Nya di udara, karena melalui mata dewa-Nya Hyang Buddha mengetahui, bahwa dewa-dewa di sorga masih meragukan apakah Beliau benar telah mencapai Penerangan Agung.

Selama minggu keempat Hyang Buddha berdiam di kamar batu permata yang diciptakanNya. Di kamar permata itulah Hyang Buddha bermeditasi mengenai Abhidhamma, yaitu ajaran mengenai ilmu jiwa dan metafisika. Batin dan badan jasmaniNya telah menjadi demikian bersih, sehingga mengeluarkan sinar-sinar berwarna biru, kuning, merah , putih, jingga dan campuran kelima warna tersebut.

Selama minggu kelima Hyang Buddha bermeditasi di bawah pohon Ajapala Nigrodha (pohon beringin), tidak jauh dari pohon Bodhi. Di sinilah tiga anak Mara, yaitu Tanha, Arati dan Raga masih berusaha untuk menggangguNya. Mereka menampakkan diri sebagai tiga gadis cantik yang menggiurkan dan dengan berbagai macam tarian diiringi nyanyian yang merdu berusaha merayu dan menarik perhatian Hyang Buddha. Tetapi Hyang Buddha menutup mataNya dan tidak mau melihat, sehingga mereka akhirnya meninggalkan Hyang Buddha.

Selama minggu keenam, Hyang Buddha bermeditasi di bawah pohon Mucalinda. Pada waktu itu turun hujan lebat. Tiba-tiba datang seekor ular kobra yang besar sekali dan kepalanya memayungi Hyang Buddha supaya jangan terkena air hujan. Ketika hujan berhenti, ular itu berubah menjadi seorang anak muda. Hyang Buddha mengucapkan pujian sebagai berikut:
"Berbahagialah mereka yang dapat merasa puas.
Berbahagialah mereka yang dapat mendengar dan melihat kebenaran.
Berbahagialah mereka yang bersimpati kepada makhluk-makhluk lain dan
Berbahagialah yang hidup di dunia dengan tidak melekat kepada apapun."

Selama minggu ketujuh, Hyang Buddha bermeditasi di bawah pohon Rajayatana. Dua orang pedagang yaitu Tapussa dan Bhallika lewat di dekat tempat Hyang Buddha sedang duduk. Mereka menghampiri Hyang Buddha dan mempersembahkan makanan dari beras dan madu.

Hyang Buddha menerima kedua pedagang itu sebagai upasaka-upasaka pertama yang berlindung kepada Buddha dan Dhamma. Mereka memohon untuk diberikan suatu benda yang dapat mereka bawa pulang. Hyang Buddha memberi mereka beberapa helai rambutNya (Kesa Dhatu). Tapussa dan Bhallika dengan gembira menerimanya. Setelah tiba di tempat mereka tinggal, mereka mendirikan pagoda untuk memuja Kesa Dhatu tersebut.

(Sumber : Buku pelajaran pendidikan agama Buddha berbaris kompetensi kelas V SD)

Tuesday, June 02, 2009

Mala

Mala

What do the numbers mean ?

Though we think of Hindu and Buddhist malas as comprising 108 beads (some have 111), as long as there are around a 100 (in a long or full mala) it is still usable. (In fact, any number of heads that you are used to using -- that is convenient in keeping track of mantras -- is fine).

108 is number with numerologic (9X12) and cosmological significance. Another, vedic (ancient Hindu) reason, is that there are believed to be 108 channels going from the heart chakra out to the rest of the subtle body.

See the 108 names of the Indian great goddess; many are similar to those of Tara, the Bodhisattva.

Buddhist Theravada tradition presents the number of 108 as related to emotions:

What are the thirty-six feelings ? There are six feelings of gladness based on the household life and six based on renunciation; six feelings of sadness based on the household life and six based on renunciation; six feelings of equanimity based on the household life and six based on renunciation.

What are the hundred and eight feelings ? There are the (above) thirty-six feelings of the past: there are thirty six of the future and there are thirty six of the present.

"These, O monks, are called the hundred and eight feelings : .......... ."


What is mala ?

A full of mala is usually 108 counting beads with a formal three holed special finishing bead called a "guru" bead, "mother/parent" bead or "Buddha" bead. There are oftentimes additional marker beads that may or may not be counted that divide the mala into quadrants, constituting a sum of 108 counting beads. We, at Sakura Designs, use 108 counting beads, with three additional marker beads. One marker is placed at number 21 on either side, as many mantra practices require 21 recitations, and at one marker 1/2 way through at number 54. The malas are then fastened with (guru bead and tasse) or with some styles, tied into knots.

(www.khandro.net/practice_mala.htm)


108 Beads - Tibetan

108 beads in Buddhism is considered an "auspicious number"often used.

108 beads in Buddhism is said to represent the following formula:
6 X 3 X 2 X 3 = 108
6 senses of a human being : sight, sound, smell, taste, touch, thought
3 times : past, present, future
2 conditions of heart, mind or intention : pure or impure
3 disturbing emotional states or kleshia : like, dislike, indiference

(www.buddhistmala.com/store/mantra.htm

Mantra

Mantra diucapkan sambil memegang biji mala di antara jari telunjuk dan ibu jari, (kadang-kadang digunakan jari yang lain pada latihan yang lebih lanjut). Mala boleh dipegang dengan tangan kanan ataupun tangan kiri sesuai kebiasaan masing-masing. Setiap kali mantra selesai diucapkan, pegangan pindah ke biji berikutnya. Hitungan dimulai dari biji yang pertama di sebelah kepala mala. Apabila sesuai satu putaran dan sampai pada kepala mala lagi, maka kepala mala itu jangan dihitung, tapi putarlah mala itu dan mulailah menghitung lagi dan kembali ke arah kebalikannya dari yang pertama tadi.

Biji mala dapat dibuat dari bahan apa saja, yang paling digemari adalah yang terbuat dari biji bodhi, demikian pula yang terbuat dari kaya gaharu. Beberapa bahan seperti gading, merjan, kristal, atau bahkan dapat terbuat dari tulang, namun hanya dipergunakan untuk keperluan yang khusus saja.

Penggunaan mala juga membantu konsentrasi pikiran kita pada mantra dan meditasi. Mala itu sendiri seyogjanya dirawat dengan hati-hati dan penuh hormat. Setiap butir mala dapat dianggap sebagai lambang Bodhisattva yang kepadanya kita tujukan meditasi itu. Sedang tali yang menghubungkan butir-butir mala itu adalah lambang dari kesadaran Bodhisattva.

(www.geocities.com/sutra_online/teknik_kesadaran1.htm)

Buddhist Prayer Beads

Prayer beads, or Japa Malas, are also used in many forms of Mahayana Buddhism, often with a lesser number of beads (usually a divisor of 108). Malas are also used in many forms of mahayana Buddhism, often with a lesser number of beads (usually a divisor of 108). In Pure Land Buddhis, for instance, 27 bead malas are common. In China, such malas are named "Shu-Zhu" (??); in Japan "...uzu". These shorter malas are sometimes called 'prostration rosaries', because they are easier to hold when enumerating repeated prostrations. In Tibetan Buddhism malas are also 108 beads: one mala counts as 100 mantras, and the 8 extra are meant to be dedicated to all sentient beings (the practice as a whole is dedicated at its end as well). Because they are. In Tibetan Buddhism, ofter larger malas are used of for example 111 beads: when counting, they calculate one mala as 100 mantras, and the 11 additional beads are taken as extra to compensate for errors.

(wikipedia.org/wiki/prayer_beads)

A tradition in many faiths

A prayer beads or cords are common in many world things. Here's a sampling :

* Anglicanism : Usually 33 beads, representing the number of years Jesus is believed to have lived on Earth, with a pendant cross.

* Baha'i : 95 beads, for the repetition 95 times of Allah'u'Abha, meaning "God all glorious."

* Buddhism : "Mala", 108 beads, representing the number of earthly desires a disciple must conquer; ends with a tassel.

* Catholicism : "Rosary", usually with five sets of 10 beads each on which are recited "Hail Marys", separated by single beads on which to say "Our Fathers", with a crucifix and a medallion of the Virgin Mary.

* Hinduism : "Mala", can be smaller but often 108 beads plus a marker, interpreted variously as the number of the names of God, the elements of the universe or the names of the River Ganges.

* Islam : "Subha" or "Tasbih", meaning "to exalt" or "to praise God"; 99 beads, representing every known name of God, or Allah, usually divided into three sections of 33 beads each, plus a leader bead and a tassel.

* Judaism : "Tallit", "tallith", "tallis" a prayer shawl made of blue and white pure natural fiber with fringers called tzitzit tied in a carefully prescribed way to represent the 613 commandments of God.

* Orthodox Christianity : "Chotki", beads or a woolen prayer rope, usually with 33, 50, 100 or 300 beads or knots for repetitive praying of the "Jesus prayer", a petition for Jesus' mercy.

* Zoroastrianism : "Kusti", a consecrated cord composed of 72 very fine white threads of lamb's wool, passed three times very loosely around the waist, tied twice in a double knot, with the ends of left hanging; it os ritually untied and tied every time people wash their hands, especially in ritual preparation for prayer.

(www.mattersofmyheart.com/beads/PrayerBeads/Rosaries/rosaries.htm)